10 September 2013 Sinar matahari terasa panas menusuk tulang , jam yang tergantung di dinding kapal KRI Banda Aceh menunjukan pukul 08 00 WIT, apel pagi menunggu kami yang masih duduk – duduk di ruang makan kapal milik TNI Al. Dua jam kemudian kami singgah di sebuah pulau kecil , gersang tapi menawan , pesona pasir putih yang mengitari hampir seluruh bibir pantainya menambah elok pulau yang berjumlah penduduk kurang lebih 75 000 orang ini, dengan kurang dari 1% muslim di sini, bahkan mesjid pun hanya satu kami jumpai. “SABURAIJUA” pulau ini di namai.
Menurut keterangan yang pernah kami baca, pulau ini terdiri dari dua pulau, Sabu dan Raijua terletak jauh dari kota dan pulau pulau di NTT lainya membuatnya asing di kesendirian di tengah samudera. Hal yang menarik sekaligus miris bagi kami adalah tentang harga BBM di pulau ini, Rp 50 000 satu botol air mineral yang 600 ml, harga fantastik di banding pulau yang lainya, pantas saja kawan kami terkejut ketika harus membayar Rp 120 000,- untuk 2 piring nasi.
Mobil kijang warna hitam berplat nomor merah menandakan mobil yang membawa kami adalah mobil dari pemerintah setempat, meluncur tanpa hambatan, deretan pohon kelapa menemani kami di sepanjang perjalanan menuju SDN 2 SEBA. Melihat deretan pohon kelapa, jagung, bunga- bunga nan indah, pikiran pun melayang teringat tanah yang sudah 10 hari kami tinggalkan, di sana di tanah Jawa. Kami kira kami tidak akan menemukan pohon yang rindang di tengah padang gersang, tapi apa yang sulit bagi Allah, dan ini makin menguatkan keyakinan, bahwa Allah berkuasa atas segalanya, memberikan nikmat yang tidak akan bisa kita dustakan (Qs: Ar Rahman).
Sayang cahaya Islam itu belum merata di raih disini. Jam 11 00 WIT, kami sampai di SDN 2 SEBA, di sambut anak anak yang sudah hampir pulang di jam terakhir pelajaranya. Wajah heran dan malu malu tampak jelas di setiap mata yang menatap atas kehadiran kami di sekolah mereka.
Kami langsung memperkenalkan diri kepada mereka, “ Suka Baca”, itulah ajakan kami, berbagi motivasi agar mereka bangkit berdaya di tengah keterbatasan sarana pendidikan yang ada, tapi mengeluh dan menerima tanpa kerja keras dan cerdas itu sama sekali bukan pilihan untuk maju, cinta Ilmu, bisa menjadikan mereka membangun daerahnya dengan bijak.
Ada sakit yang terasa di dada ketika melihat anak anak itu gembira atas hadiah yang kami bawa, ingin rasanya sesering mungkin kami hadir, kami menanti garis takdir Allah berlaku bagi sisapapun yang di kehendaki-NYA dan itu pasti yang terbaik. Kami yakin jika hadir kembali ke tempat ini adalah terbaik menurut Allah maka pasti kami kembali, melanjutkan pekerjaan yang masih belum selesai.
#Titip rindu buat saudara- saudaraku di pulau SABU#
Wrote By : Tita Marta